29 April 2008

DAFTAR KESALAHAN ORANG TUA

1. Minimnya waktu bersama anak
Orangtua masa kini cenderung menjadi "tewnty minute parents" alias orangtua 20 menit. Artinya, waktunya bersama anak hanya sesaat, yakni sekitar 10 menit sebelum berangkat kerja di pagi hari dan 10 menit di malam hari sepulang kerja. Kesibukan kerja membuat energi orangtua habis terkuras, sehingga tak lagi tersisa untuk bisa beraktivitas bersama anak, entah itu bermain, bernyanyi atau bercerita. Belum lagi kurangnya untuk mentransfer nilai-nilai moral, etika dan spiritual pada anak.

2. Lemahnya bonding/ikatan dengan anak
Keseharian anak biasanya jadi lebih banyak bersama orangtua pengganti, seperti nenek-kakek, om-tante, pengasuh, dsb. Kurangnya waktu dan limpahan perhatian kepada anak berakibat pada lemahnya bonding antara orangtua-anak.

3. Guilty feeling orangtua
Perasaan bersalah orangtua lantaran sering meninggalkan anaknya mendorong orangtua membanjiri anak dengan berbagai hadiah. Akibatnya, anak terbiasa mendapatkan segala sesuatu tanpa pernah dibarengi tuntutan apapun dari orangtua. Jadi, jangan salahkan anak bila mereka berkembang jadi anak yang "semau gue".

4. Komunikasi tak terjalin dengan baik
Tak banyak orangtua yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, termasuk dengan anak. Tak heran kalau komunikasi terhadap anak cenderung menyimpang/dilakukan dengan cara salah, seperti membentak, menghakimi, mencemooh, mengabaikan, main perintah, dsb. Celakanya, pola komunikasi yang salah seperti inilah yang ditiru-tiru anak. Dampaknya, bukan tidak mungkin konsep diri anak jadi rendah.

5. Ketidaksiapan menjadi orangtua
Faktor yang satu ini tidak semata-mata ditentukan oleh umur dan kondisi finansial. Cukup banyak mereka yang sudah matang usianya dan mantap kondisi ekonominya tetap saja merasa tidak siap menjadi orangtua. Apalagi disini juga tidak ada semacam sekolah atau kursus menjadi orangtua.

6. Berharap terlalu banyak tanpa dibarengi tuntunan yang memadai
Contohnya, anak dibiarkan saja saat main PS terus menerus tanpa ada teguran atau peringatan untuk belajar/menyelesaikan tugas sekolah lebih dulu. Celakanya, di saat yang sama orangtua berharap anak mendapat ranking bagus di sekolahnya.

7. Tidak ada aturan yang jelas dan tegas
Seharusnya sejak anak masih kecil, orangtua sudah konsisten menanamkan aturan. Penerapannya tidak harus kaku, melainkan dilakukan secara sabar, berulang-ulang namun konsisten. Ketika memberlakukan aturan apapun, orangtua harus mampu bersikap tegas dan tegar untuk begitu saja mengikuti kemauan anak. Sekali sajaorangtua mengiyakan kehendak anak maka, aturan yang sudah ada akan rusak karena anak akan melanggarnya. Hindari tawar menawar dengan anak, apalagi sampai terpancing oleh ulah anak yang memelas.
Jika anak tidak dikenalkan pada aturan, maka dia tidak akan tahu apa yang harus dilakukannya, sehingga akan menimbulkan benturan dan konflik dengan orangtua dan siapa saja yang ditemuinya dalam pergaulan.

8. Tidak disiplin
Bersikap kelewat permisif selalu membolehkan anak melakukan apapun, juga sama sekali tidak mendidik. Orangtua membolehkan anak nonton dan main games tanpa batasan. Bahkansampai berjam-jam. Akibatnya, anak tidak tahu kalau ada aturan bagi dirinya. Dia tidak tahu mana yang boleh mana yang tidak. Jadi, beri aturan yang jelas dan tegas. Apapun konsekuensi yang telah disepakati bersama dan disampaikan kepada anak harus tetap dijalankan.

9. Orangtua kurang percaya diri
Idealnya orangtuatidak boleh "kalah kata" dengan anak. Artinya, orangtua harus punya keberanian dan rasa percaya diri. Agar anak bersedia mengikuti aturan, orangtua harus mampu bersikap tegas. Jangan sampai orangtua kehabisan kata-kata lantas menyerah pada kemauan anak.

10. Orangtua mengontrol semua kegiatan anak
Dalam hal ini orangtua menutup kesempatan anak untuk memiliki pengalaman berpikir sendiri, memilih maupun mengambil keputusan bagi dirinya. Imbasnya, anak tidak mendapat kesempatan untuk merasakan kegagalan ataupun keberhasilan. Celakanya, tanpa disadari, orangtua justru kerap melindungi anak terhadap konsekuensi alamiah akibat perilaku negatifnya. Misal, anak tidak mengerjakan PR dan orangtua yang mengambil alih untuk mengerjakannya agar anak tidak disetrap oleh gurunya. Hal ini membuat anak kehilangan kesempatan untuk belajar memahami bahwa perilaku negatif akan membawa dampak negatif juga. Alhasil, anak tidak termotivasi menghilangkan perilaku negatifnya semata-mata karena ia tidak pernah merasakan dampak negatif alamiah dari perilakunya.


Sumber : nakita

1 komentar:

  1. Boleh nambahin ya mbak... Kadang orang tua suka merasa paling benar dengan alasan lebih mempunyai banyak pengalaman. Jadi segala perilaku anak dilihat benar-salahnya berdasarkan penilaian orang tua semata. Padahal sebenernya orang tua bisa salah juga kan?

    BalasHapus