Saat masih kecil
Aku selalu bertanya
Ibu, mengapa pagi dan sore selalu datang
Dan mengapa purnama selalu bertambah besar di awal bulan
Dan menyusut setelah bulat di tengah bulan...
Saat itu ibu hanya berkata
Agar engkau bisa menghitung, Anakku...
Menghitung ceceran paku dosa yang ibu pancang di dinding rumah
Menghitung lubang pahala yang ibu ukir di tiang sejarah
Menghitung duka malam ketika ditinggalkan pagi
Dan menghitung sakitnya matahari ketika meninggalkan bianglala senja
Aku berkata lagi
Ibu, apakah itu berarti kita harus menghitung waktu?
Tidak, anakku...waktu itu abadi...
Walau manusia membatasinya dengan milenia, abad, tahun, bulan, hari, bahkan detik
Dia tetap berputar dalam sumbunya
Dan kuas sejarah terus berjalan
Menggariskan lukisan dunia
Dan salah satu titik kecilnya yaitu kita...
Engkau dan ibumu ini...
Kalau waktu itu abadi
Mengapa harum melati hanya bertahan di satu matahari?
Dan mawar juga layu di setiap senja hari?
Karena dia menuntunmu, anakku...
Agar engkau bisa merenung
Mensyukuri waktu
Bersama mekar dan layunya mahkota mawar
Bersama wangi dan rontoknya bunga melati
Ibu, kata ayah hari ini aku ulang tahun?
Itu berarti engkau telah menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari,
sebanyak tiga ratus enam puluh lima kali
Maka hitunglah berapa kelopak mawar yang layu bersamamu...
Ibu...aku lelah...
Bermainlah ke ladang, anakku
Cabutlah ilalang
Ratakan jalan
Tanamlah melati
Agar hidup ini terus
Mewangi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar