Terima kasih Ya Rabbil Izzati, Kau telah memperkenalkanku tentang betapa indahnya dunia, hingga membuatku untuk terus berjuang menghadang segala carut marut kehidupan. Kini, setelah aku dewasa, berkeluarga, mempunyai dua permata hati, aku tak gagap untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan-Mu. Begitu banyak kenikmatan, luka ataupun kecewa... Semua karena aku tahu Engkau telah mengaturnya dengan sedemikian indahnya. Inilah hidupku...dan aku bersyukur dengan hidupku...
My Early Childhood
Denting jarum jam menunjukkan pukul 12 malam hari pada Sabtu
Kliwon, 13 Agustus 1977, ketika seorang bayi perempuan lahir ke dunia. Dia
lahir sebagai anak kedua dari seorang bapak yang bernama Suhadi dan ibu
Supiyati. Tujuh hari kemudian bayi itu diberi nama Reni Dwi Astuti. Itulah aku.
Orangtua memberi nama untuk menitipkan harapan-harapannya, bahkan lebih dari
itu nama adalah sebuah pertanggungjawaban. Reni adalah nama seorang ustadzah
dan mubalighat terkenal (di kota Ponorogo dan sekitarnya) saat itu. Nama
lengkapnya adalah Ustadzah Reni Baidhowi. Kala itu satu hari setelah aku lahir,
beliau diundang ceramah di masjid Jami’ Tugu (yang kebetulan bersebelahan
dengan rumah kami). Bapakku terinspirasi untuk memberiku nama yang sama yaitu
Reni, dengan harapan aku bisa seperti beliau, menjadi seorang ustadzah dan
mubalighat. Kini aku mewujudkan sebagian mimpi bapak itu menjadi seorang guru
(ustadzah). Dwi, karena aku anak kedua dan Astuti kata dari bahasa Jawa yang
artinya “dipuji”.
Ingatanku pun melayang pada saat ibuku mengalirkan
cerita-ceritanya tentang masa kecilku yang tentunya sudah tidak terjangkau oleh
memoriku. Ketika usia 3 bulan aku harus terhenti mendapatkan ASI karena sesuatu
sebab yang ibuku sendiri tidak tahu kala itu. ASI-nya tiba-tiba kering dan
tidak mau berproduksi lagi. Betapa beliau menangisi mengapa itu bisa terjadi
dan menyesali diri karena tidak bisa memberikan ASI sampai usia 2 tahun. Reni
kecil akhirnya diberi susu formula sebagai pengganti ASI.
Kini dalam perkiraanku tentang kisah ibuku yang gagal
menyempurnakan pemberian ASI padaku bisa aku mengerti. Meski ibuku bukan wanita
karir alias ibu rumah tangga murni dengan segudang pekerjaan rumah tangga yang
tiada habisnya, bahkan beberapa hari setelah melahirkan melakukan semua pekerjaan
rumah tangga sendiri, memasak, mencuci tanpa bantuan teknologi modern seperti
kita di jaman sekarang ketika memasak tinggak memutar tombol kompor gas,
mencuci dengan hanya memencet tombol-tombol di mesin cuci, setrika tinggal
antar ke laundry , maka kelelahan sudah pasti terbayang di pelupuk mata.
Bukankah seorang ibu yang menyusui seharusnya mendapatkan istirahat yang cukup
agar ASI bisa berproduksi maksimal? Memang ada kalanya pemberian ASI pada
seorang anak tidak bisa berjalan mulus sesuai keinginan sang ibu. Kata ibuku
aku pun suka sekali minum susu formula dan setiap minta minum susu Reni kecil
pun berkata, ‘mi dot... midot... midot...midot...”
Aku pun pernah nyaris tertabrak bus antar kota. Ketika itu
aku masih baru bisa berjalan. Ketika ibu memasak di dapur Reni kecil berjalan
keluar rumah menuju jalan raya (depan rumah kami adalah jalan raya) dan
bertepatan dengan itu ada sebuah bus yang sedang melintas, kontan klakson bus
pun dibunyikan berkali-kali. Beruntunglah Reni kecil karena ada tetangga yang
mengetahuinya dan seketika itu dia pun berlari dan menggendongku menjauh ke
tepi jalan. Terima kasih ya Allah, ini adalah sebagian kecil dari takdir
indah-Mu untuk kelanjutan episode hidupku.
Ketika usiaku sekitar 4 tahun, bapak mengalami kecelakaan
sepeda motor dan memerlukan perawatan yang tidak sebentar. Aku, kakak dan
adikku pun harus wara-wiri mengikuti kemana Bapak dirawat. Saat bapak harus
rawat inap di RS KUSTATI Solo beberapa bulan, kami pun dititipkan di rumah
mbah. Ini pernah aku tulis disini. Setelah Bapak sudah mendingan dan bisa dibawa pulang ke rumah, beliau berdua (tentunya dengan kesepakatan seluruh keluarga besar) memutuskan untuk meningggalkan rumah kami yang selama ini kami tempati. Kamipun pindah ke rumah mbah yang lumayan besar. Konon dari cerita ibu, rumah kami termasuk angker. Banyak sekali cerita yang membuat bulu kuduk merinding. Masyarakat sekitar pun mengetahui hal itu. Meski begitu Bapak dan Ibu terus bertahan dan percaya dengan keagungan-Nya (walaupun sering mendapatkan pengalaman yang menakutkan). Wallohu 'alam, selalu ada saja musibah yang menghampiri anggota keluarga kami. Rumah kami dulu katanya bekas kuburan sehingga nuansa mistiknya sangat kuat. Namun, waktu itu aku tidak mengerti hal-hal yang demikian. Yaa maklumlah aku masih kanak-kanak yang lugu dan polos.
Masa-masa ketika di TK adalah masa yang sangat menyenangkan.
Masa bermain yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Bermain dengan kakak
dan adikku serta teman-teman di sekitar rumah. Meski hanya beberapa moment yang
masih tersisa di ingatan, namun rasanya tidak ada beban sebagai anak-anak kala
itu.
Namun, ketika aku kelas 2 SD awan kelabu sedang menaungi
rumah kami. Aku harus kehilangan adikku satu-satunya yang meninggal karena
sakit. Namanya Erma Suciati. Erma kecil anak yang cerdas dan pemberani. Dia meninggal di usia 5 tahun. Aahh...tiba-tiba rasa kangenku padanya menyeruak ketika aku menulis dan mengunggah foto ini...
Keceriaan seorang anak aku alami sampai aku kelas 3 SD.
Aku bermain bersama teman-teman dengan keceriaan khas anak kecil. Mulai kelas 4 sekolah sempat menjadi tempat yang tidak nyaman bagiku. Aku
sering dibully oleh teman-teman cowok sekelasku. Mereka menjodoh-jodohkanku
dengan teman sekelas juga. Dan itu membuatku malu dan memendam amarah karena
tidak berdaya melawan mereka. Saat itu aku bersorak gembira bila si biang pem-bully itu tidak masuk sekolah. Namun, meski aku jadi korban bully, prestasi
belajarku tidak terpengaruh. Ranking 1 atau 2 selalu dalam genggaman. Saat aku kelas 5 aku memiliki adik baru. Kami selisih 11 tahun. Awalnya aku malu mempunyai adik baru. Dalam pikiranku saat itu, aku kan sudah besar masak punya adik bayi... Aku sempat cemas ya? Tapi ternyata, lama-lama senang juga dengan adik baru, apalagi dia seorang cewek, lucu dan cantik... Dia bisa menjadi temanku dalam bermain.
Oh ya, Bapakku termasuk keras dalam mendidik kami anak-anaknya. Beliau mendisiplinkan kami dalam setiap kegiatan. Bahkan aku tidak boleh bermain atau belajar sebelum mengaji. Kami pun sudah diserahi tanggung jawab masing-masing di rumah. Aku menyapu rumah bagian tengah dan kakakku menyapu rumah bagian depan. Itu sudah berlaku setiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Sholat pun harus tepat waktu, hingga aku pernah iri dengan teman-temanku yang orangtuanya agak longgar dalam hal ini. Tapi ternyata, apa yang dilakukan oleh orangtuaku dapat aku rasakan manfaatnya hingga kini. Dan harus aku akui dalam hal ini aku kalah dengan beliau.
Oh ya, karena masih terus dibully, rasa-rasanya
aku pingin cepat lulus dan terhindar dari bully teman SD ku. Namun apa yang
terjadi setelah aku di SMP? Ternyata bully itu masih berlanjut padaku, tapi
dilakukan oleh teman SMP dari sekolah yang berbeda. Entahlah, saat itu yang
berkecamuk dalam diriku adalah rasa malu, marah, jengkel, takut, cemas, tidak
nyaman...campur aduklah. Aku kecewa pada diriku sendiri karena “membiarkan” hal itu aku alami. Namun
aku tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan
pelaku pada orang tua maupun guru karena takut dicap penakut, tukang ngadu,
atau bahkan disalahkan.Hal itu yang membuat aku semakin tidak percaya
diri. Mengapa harus aku yang menerima semua itu? Namun, menjadi korban bully tidak menjadi alasan untuk tidak belajar.
Justru semua itu melecutku untuk menjadi siswa yang berprestasi. Saat itu aku
ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa meski mereka membully-ku terus
menerus. Aku lebih banyak tidak menanggapi mereka karena semakin aku menanggapi
mereka semakin santerlah mereka membully-ku.Akhirnya dengan memacu semangat belajar aku pun bisa
menjadi juara umum di SMP kelas 2. Dan ceritaku ini sekarang selalu aku share kepada siswa-siswa di sekolahku. Kebetulan aku seorang konselor di sekolah, sehingga aku berupaya agar kasus-kasus bullying tidak terjadi, minimal berkuranglah.
Oh ya, Bapakku termasuk keras dalam mendidik kami anak-anaknya. Beliau mendisiplinkan kami dalam setiap kegiatan. Bahkan aku tidak boleh bermain atau belajar sebelum mengaji. Kami pun sudah diserahi tanggung jawab masing-masing di rumah. Aku menyapu rumah bagian tengah dan kakakku menyapu rumah bagian depan. Itu sudah berlaku setiap hari sebelum berangkat ke sekolah. Sholat pun harus tepat waktu, hingga aku pernah iri dengan teman-temanku yang orangtuanya agak longgar dalam hal ini. Tapi ternyata, apa yang dilakukan oleh orangtuaku dapat aku rasakan manfaatnya hingga kini. Dan harus aku akui dalam hal ini aku kalah dengan beliau.
![]() |
adikku (cewek) dan sepupunya saat usia 3 tahun |
Kuingat bagaimana perjuanganku meraih prestasi itu. Aku
berusaha mengalahkan rasa kantuk untuk memperbanyak jam belajarku tiap harinya.
Aku bertanya pada orang-orang di sekitarku bagaimana mengatasi rasa kantuk. Ada
yang menyarankan minum kopi yang dicampur garam. Aku lakukan itu demi prestasi
yang ingin aku raih. Namun apa yang terjadi, memang mataku bisa tetap terjaga
sampai jam 1 dinihari tapi otak tidak bisa diajak kompromi karena mungkin sudah
terlalu lelah. Ada juga yang menyarankan kaki direndam dengan air. Itu pun aku
lakukan. Kalau sudah mulai kantuk aku pun bergegas mengambil ember berisi air
dan kurendam kakiku di ember itu sambil belajar. Namun ketahanan kakiku juga
ada batasnya, bahkan aku masuk angin. Aku bertanya lagi barangkali ada hal lain
yang bisa tetap terjaga. Ada tetangga yang bilang agar aku minum obat Ultra**p
agar tidak cepat mengantuk. Namun yang ketiga ini belum sempat aku coba.
Ternyata, ambisiku untuk menjadi siswa berprestasi itu harus dibayar pula
dengan ambruknya kondisi badanku sehingga aku punharus diopname selama seminggu
di rumah sakit. Dua hari di rumah sakit, ibuku juga menyusul diopname juga.
Betapa sedihnya saat itu, bahkan ketika aku boleh pulang, ibu masih opname di
rumah sakit. Bapaklah yang mondar-mandir mengurusi kami, dibantu dengan
bulik-bulik yang bergantian menjaga kami di rumash sakit. Kerja kerasku
rasa-rasanya impas dengan prestasi yang aku dapat sehingga aku meraih juara
umum. Dan hal yang paling menyenangkan adalah ketika kelas 3 SMP aku sudah
mulai terbebas dari bullying verbal itu sehingga aku lebih fokus pada persiapan
EBTANAS. Rasanya inilah dunia kebebasanku...
Masa-masa SMA yang menyenangkan...
Semakin bertambah usia semakin bertambah percaya diri, meski
masih setengah-setengah. Kurang percaya diri
yang kumaksud disini dalam hal bergaul dan mengenal teman secara luas.
Mungkin aku termasuk agak kuper saat itu. Waktuku lebih banyak aku habiskan
untuk di rumah dan belajar. Ketika teman-teman mengajak main aku lebih banyak
menolak karena hal itu berkaitan dengan uang sakuku saat itu yang hanya cukup
untuk naik bus atau angkot pulang-pergi sekolah.Bahkan kalau sang kondektur
lupa menarik ongkos bus, betapa indahnya hal itu...(iihh, ini mah nggak
jujur...). Dan kalau pergi main mestilah ada jajannya, paling tidak transport
untuk main kan harus ada. Jadilah aku anak yang agak kuper. Iri banget
sebenarnya pingin bisa sering bermain bersama teman-teman kala itu. Sesekali
aja sih main bersama teman-teman. Sampai-sampai ada temanku yang sekarang sudah
jadi seorang hakim mengatakan kalau mukaku sudah mirip dengan buku karena sibuk
belajar terus. Padahal nggak segitu juga kaliii... Dapat uang jajan lebih hanya
seminggu sekali yaitu saat ada pelajaran olahraga. Kalau ada teman yang jajan
di kantin dan jajan yang dibelinya banyak, aku hanya bisa berkata dalam hati,
“Betapa beruntungnya temanku ini, bisa jajan semaunya, pastilah anak orang
kaya...” Sementara aku beli jajan di kantin aja seminggu sekali atau sesekali
ketika ada uang saku lebih.
Saat SMA sempat naksir seorang cowok juga, tapi nggak berani
menyampaikan,dan itu aku simpan dalam hati tanpa seorang pun yang tahu.
Yaahh...cinta monyet yang tak tersampaikan, begitu mungkin sebutannya. Menjelang
akhir SMA (tahun 1992), aku membuat keputusan untuk memakai jilbab. Saat itu
jilbab memang belum familier. Di sekolahku hanya 2 siswi yang berjilbab. Motivasi
dari temanku yang sudah lebih dulu menutup auratnya ternyata mampu mempesonaku
untuk mengikuti jejaknya dalam menutup aurat. Aku ingat catatan seorang teman
yang ditorehkannya di bukuku saat itu. Dia mengatakan, “Janganlah jadi generasi
chiki”. Aku sempat bertanya-tanya waktu itu, ini apa maksudnya. Karena
penasaran aku pun bertanya langsung kepadanya. Dia menjelaskan generasi chiki
(jenis makanan ringan) itu maksudnya hanya bagus di kemasan tapi dalamnya nggak
bermutu alias keropos mentalnya. Aku pun semakin memantapkan hati untuk
berhijab.
Akupun mengutarakan maksudku pada ibuku. Saat itu ibu
mengatakan bahwa aku kan sudah kelas 3 SMA, sementara sebentar lagi lulus,
masak harus beli baju baru untuk seragam. Aku melihat di wajah ibuku ada raut
bahagia melihat anaknya mau berhijab, namun di sisi lain kemampuan ekonomi
orangtuaku yang saat itu sangat pas-pasan sehingga terasa berat untuk membeli
seragam-seragam baru yang hanya akan dipakai beberapa bulan saja di SMA. Namun aku terus berusaha agar ibu
menyetujui keinginanku. Meyakini kemantapan tekadku untuk mengenakan hijab
sudah tak terbendung lagi, akhirnya ibu pun membeli kain-kain buat seragam
sekolah. Beliau menjahit semua baju-baju itu. Untungnya ibuku seorang penjahit
sehingga tidak dibebani ongkos jahit. Setelah aku, tiga temanku ikut mengenakan hijab juga.
Masa menempa diri dalam kawah candradimuka
Lulus SMA akupun ikut UMPTN (sekarang SNMPTN). Namun aku
gagal menembus PTN favoritku kala itu. Fakultas Psikologi Unair. Aku pun
berhenti setahun untuk mempersiapkan diri ikut UMPTN tahun berikutnya. Sebenarnya
ingin sekali mengikuti bimbingan belajar
untuk persiapan UMPTN tahun berikutnya, namun aku tidak berani menyampaikan
pada orangtuaku karena aku cukup tahu diri, biaya untuk itu tidaklah sedikit
sehingga aku belajar sendiri dengan mengerjakan contoh-contoh soalnya saja. Selama
masa vakum satu tahun aku manfaatkan untuk mengikuti kursus komputer dan kursus
akuntasi hingga UMPTN datang lagi. Dengan pilihan yang sama dengan tahun
sebelumnya, ternyata aku gagal lagi. Aku pun akhirnya melanjutkan ke sebuah
universitas swasta di Malang. Sejak awal kuliah aku bertekad untuk serius
kuliah, no pacaran, aktif di organisasi dan cepat lulus dengan nilai yang baik.
Tidak lain dan tidak bukan salah satunya karena tidak ingin mengecewakan
orangtua yang sudah dengan susah payah membiayai kuliahku.
Lagi-lagi, aku jadi mahasiswa aktivis yang jarang
menghabiskan waktunya untuk nyantai-nyantai bareng teman. Sehari-hari di
kampus, pulang ke kost kalau sudah sore atau malam setelah aktifitas organisasi
selesai. Bener-bener jadi mahasiswa yang kurang piknik (istilah sekarang). Mengikuti aksi turun lapangan juga aku jabanin, apalagi saat itu sedang gencar-gencarnya aksi demonstrasi mahasiswa pro reformasi. Sebagai aktivis waktu itu, tentu aku tidak boleh ketinggalan. Reni yang dulunya saat SMP dan SMA termasuk anak yang agak kuper alias kurang pergaulan, pada saat kuliah berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Semangat seperti itu yang kini selalu aku tularkan juga kepada siswa-siswaku di sekolah kini. Bahwa semua orang bisa berubah asalkan mempunyai niat dan kemauan yang kuat. Selain itu, aku
juga berusaha untuk mendapatkan uang tambahan dengan menjadi reseller baju,
kaos, sepatu, tas bahkan kosmetik. Aku jualan dengan datang ke kost
teman-teman, terkadang sambil bawa dagangan ke kampus.
Ada beberapa organisasi yang aku ikuti, antara lain
IMM-Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (sempat menjadi Ketua Umum tingkat fakultas),
BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa-Bendahara), SEF (Student English Forum) dan
Tapak Suci. Ada kalanya kejenuhan melanda diantara padatnya aktivitas
organisasi. Yang aku lakukan adalah berdiam diri di kost dan bercengkerama
dengan teman-teman kost, nonton tivi atau sekedar jalan-jalan. Aku menyebutnya
sebagai keseimbangan. Semangatku untuk menyelesaikan kuliah selama 4 tahun
kandas karena aku mengalami kecelakaan tunggal saat perjalanan dari lokasi
penelitian. Kecelakaan itu mengharuskanku untuk tidak kemana-mana selama satu
bulan karena kakiku luka parah. Aku pun berusaha menerima dengan ikhlas semua
ini, meski awalnya menyesali juga mengapa ini harus terjadi. Justru dari
kejadian ini aku mengambil hikmah yang besar bahwa tidak setiap keinginan dalam
diri kita bisa menjadi kenyataan karena ada yang mengatur setiap titik
perjalanan hidup kita. Akhirnya aku pun dapat menyelesaikan kuliahku selama 4,5
tahun dengan predikat IPK tertinggi di fakultas. Aku menyebutnya bukan sebagai
mahasiswa terbaik, tapi IPK tertinggi iya. Karena IPK tertinggi belum tentu
bisa dijadikan indikator kalau dia sebagai mahasiswa terbaik. Kebetulan nilai
IP yang aku kumpulkan mengantarkanku menjadi mahasiswa peraih IPK tertinggi di
fakultas.
Kisah saat bekerja
Setelah lulus, aku pun direkrut menjadi staf di Laboratorium
Psikologi di kampus. Selain itu aku pun menjadi asisten dosen, yang kemudian
mengantarkanku menjadi dosen tidak tetap di kampus. Sekitar satu tahun menjadi
dosen, ada panggilan kerja di sebuah sekolah alam di Surabaya. Aku sangat
bingung kala itu dihadapkan oleh dua pilihan yang sama-sama berat. Akhirnya
setelah melalui berbagai pertimbangan dan beberapa kali sholat istikharah aku
pun memutuskan untuk menerima tawaran dari sekolah di Surabaya sehingga aku
harus meninggalkan kampusku tercinta. Namun saat itu aku masih harus menyelesaikan tugas
dan tanggung jawabku di kampus. Jadi bolak-balik Malang-Surabaya. Awalnya
berat, namun setelah dijalani aku banyak menemukan pelajaran kehidupan yang
tiada terkira di tempat mengajarku yang baru ini. Aku bergelut dengan anak-anak mulai dari play group, TK dan SD di sebuah sekolah alam dan aku begitu menikmatinya. Sebuah episode kehidupan yang penuh sarat makna.
Ketemu jodoh... meet the soulmate
Di Surabaya ini juga aku pertama kali bertemu dengan my soulmate.
Kami tidak pernah kenal sebelumnya, tapi beberapa kali berada diacara yang sama
dalam kegiatan organisasi kampus. Ia kuliah di Yogjakarta dan aku di Malang. Namanya juga jodoh, kalau belum saatnya
dipertemukan ya nggak akan ketemu. Jadi, teman-temannya adalah teman-temanku
juga. Dan kami pun diperkenalkan oleh teman kami. Karena jarang ketemu kami hanya sms atau telpon
aja sesekali.Akhirnya setelah sama-sama serius, keluarga semua setuju, dia pun
melamarku pada tanggal 10 Agustus 2003.
Bahtera itu segera dikayuh...
Tepat tanggal 8 Februari 2004 kami mengikat janji sehidup
semati, selalu bersama dalam suka dan duka, dalam kelebihan maupun dalam
kekurangan. Setelah menikah kami sempat LDR, lebih tepatnya sebelum menikah pun
kami LDR-an. Suami di Jakarta aku di Surabaya. Satu bulan usia pernikahan kami,
hasil tes laboratorium menyatakan bahwa ada kehidupan baru yang berusia empat
minggu ada di dalam rahim saya. Padahal waktu itu kami merencanakan mempunyai
momongan setelah usia pernikahan kami sekitar satu tahunan, ternyata Allah
memberikan lebih cepat dari yang kita minta. Hingga usia kehamilan di bulan
ke-9, kami merencanakan setelah lahiran untuk tinggal di ibukota sehingga aku
pun resign dari tempat mengajarku. Ternyata, belum sampai pindah ke Jakarta
suami sudah dipindah lagi ke Gresik. Sampai Kayla (putri pertama) berusia 2
tahun, baru aku mencari pekerjaan lagi dengan mengajar di sebuah bimbingan
belajar sampai akhirnya aku diterima menjadi CPNS di awal tahun 2011. Dua tahun
setelahnya putri kedua pun lahir. Bertambah lagi anugerah dari Allah yang harus
kami jaga dan kami didik untuk menjadi insan kamil yang penuh dengan kemuliaan.
Langit kehidupan tak selalu cerah, kenyataan hidup tak
selalu manis. Selama menjalani pernikahan ini tak sedikit batu sandungan yang
pernah aku alami bersama suami. Tetapi, kami tetap selalu bersama dan
menghadapinya dengan sabar, ikhlas dan tawakkal. Tak dipungkiri bahwa ada rasa
lelah, cemas dan kadang kecewa. Ada saat dimana pertahanan spiritual kami
melemah. Namun kami bisa saling menguatkan. Kami
menganggapnya itulah seni kehidupan yang kelak akan mendewasakan kita sebagai
manusia.
Tentang mbak Ika Puspitasari...
Dikatakan kenal tapi belum tahu banyak. Dikatakan tidak
kenal tapi saya sering membaca update statusnya di facebook. Sehingga jika
diminta memberikan kesan terhadap beliau rasanya kurang bahan bagi saya untuk
memberikan masukan tentang beliau, malah nantinya tidak bisa objektif. Namun
saya akan memberikan semacam komentar untuk blog beliau. Dari blognya saya mengetahui beliau seorang ibu dengan tiga anak, aktif dalam dunia kepenulisan. Bahkan beliau pernah menerbitkan 2 buku secara bersama-sama dengan penulis yang lain (ah...jadi merasa belum ada apa-apanya dengan Mbak Ika Puspitasari). Tulisan-tulisan di blognya mengalir dengan kata-kata dan bahasa yang mudah dipahami. Jadi kalo membaca tulisan beliau tidaklah perlu kita mengernyitkan dahi hehehe... Tulisannya enjoyable dan lebih banyak tentang hal-hal sehari-hari.
Terima kasih ide GA nya mbak, karena dengan GA ini saya jadi ada "keberanian" untuk menuliskan sejarah diri ke layar blog hehehe...dan foto-foto kenangan lama yang tersimpan selama ini di album kenangan bisa lebih berkata-kata...
Terima kasih ide GA nya mbak, karena dengan GA ini saya jadi ada "keberanian" untuk menuliskan sejarah diri ke layar blog hehehe...dan foto-foto kenangan lama yang tersimpan selama ini di album kenangan bisa lebih berkata-kata...
Terselip doa untuk Mbak Ika Puspitasari, Selamat Ulang
Tahun, barokalloohu fii umrik. Semoga selalu sehat, panjang umur, diberi kekuatan untuk mendidik dan menemani putra putri tercinta, diberi keberkahan usia dan selalu membawa maslahah bagi sesama... Dan teruslah berkarya dan menebar manfaat bagi semesta...
Btw, Mbak Ita tidak ingin bernostalgia ke Gresik? Saya tinggal di Gresik lho Mbak, hehehe...
Btw, Mbak Ita tidak ingin bernostalgia ke Gresik? Saya tinggal di Gresik lho Mbak, hehehe...
Ngebaca ini semacam membaca biogragi singkat mba Reni, si anak kedua. EH kita samaan anak kedua hehe :)
BalasHapusCerita hampir tertabrak busnya serem mbaaak >.<
iya mbak, tapi sayanya nggak inget hal itu, maklum masih kecil yaa... alhamdulillah Allah SWT masih memberi kesempatan di dunia ini
HapusHehe..kalo baca tulisan mb Reni runtuut banget, dokumentasinya lengkap. Mb Reni di Gresik to? Aku mau ke Gresik lagi...banyak kenangan disana. Omku tinggal di perum Petro..
BalasHapusIya mbak saya di Gresik sejak tahun 2005, setelah anak pertama lahir. Wah dekat banget mbak itu dengan rumah saya. Monggo kalo ke Gresik kabar-kabar yaa... seneng banget kalo bisa kopdar mbak...
HapusMbak Reni kecil cantik, imut, lucu, kayak Athiyah deh kayaknya :)))
BalasHapusOiya, baru tau kalo Mbak Reni lulusan UMM, dan aktivis IMM. Sama dong kitaaaa...hehehe... Tapi saya aktif taun 2006-an, Mbak.. Kan lebih muda :)
Nah jadi ingat, tahun kelahiran Mbak Reni ternyata sama dengan tahun kelahiran Mbak saya (almarhumah). Jadi ingat mbak saya, nih...
Iya, menurutku Athiyah mirip aku waktu kecil mbak...oo iyya taa...semakin merasa dekat daku padamu mbak Diah, ternyata kita seperjuangan meski di tahun yang berbeda...wah tahun 2006? berasa tua aku nih...aku lulus tahun 2001 mbak... Semoga beliau ditempatkan di jannah-Nya
HapusWaktu nikah janji sehidup semati? Jangan dong mbak.. sehidup ajahh hihihii..
BalasHapusBtw fotonya lengkap.. nyempetin pulang kampung dulu yak? :p
Klo misal aq ikut G.A ini kayakanya ga bisa upload foto masa lalu deh.. ada di mama semua foto2ku hehee
biar kayak di sinetron-sinetron gitu lho mbak hehehe... pulang kampungnya sudah lama. Foto yang di kampung aku fotoin lagi, biar kalo hilang masih ada file-nya... terus biasanya aku tunjukkan ke anak-anak sambil cerita masa kecil ibunya dulu hehehe
Hapushihihiih..komplit banget metamorfosa kehidupan dr kecil ampe punya anak kecil niy mak.
BalasHapusoya gagal pokus liat sepeda sewaktu keclnya, hahhaa mengingatkan aku akan masa kecil yang punya sepeda itu juga. trus sama2 anak2 fisika pada jamannya sma dulu. ahhh...
iya mbak...mumpung ada GA nya mbak Ika Puspitasari nih sekalian nulis cerita tentang diri sendiri, siapa tahu bermanfaat hehehe
HapusAku malah lupa kalo punya sepeda itu... nggak pernah inget saat kecil pake sepeda itu hehehe
hidup menyimpan banyak kisah ya mbak :) yang kadang tak disadari menempa kita menjadi pribadi yang sekarang :)
BalasHapusbetul mbak...kita bisa menjadi kita yang sekarang karena salah satunya ada berbagai peristiwa yang membuat kita berubah. dan semoga perubahan itu ke arah yang lebih baik
HapusSubhanalloh, kenangan dalam bentuk fisiknya masih rapi tersimpan ya Mbak, seneng melihat dan membacanya
BalasHapusiya mbak, alhamdulillah masih ada. Yang foto lebih lama dari itu juga ada meski hitam putih...foto pernikahan bak dan ibu saya hehe
Hapusrambutnya panjang ya mbak waktu sekolah
BalasHapusiya mbak, soalnya malu kalo dipotong pendek saat itu. Terus biasanya kalo ke salon untuk potong rambut kalo waktu mau hari raya aja
Hapuswah, komplit kisahnya, Mbak. Ternyata Mbak Reni rajin belajar, euy. Gak kayak saya hehehe
BalasHapushahaha...itu dulu..sekarang nggak rajin belajar buat nge blog...kalah sama pekerjaan yang lain...harus belajar banyak dari Chie nih soal nge blog
HapusSesuatu banget ngliat poto2nya Mba Ren, hihi..Aku entah pada kemana potonya, hiks. Apalagi jama kecil, adanya poto ijasah TK doang XD
BalasHapusKeren Mak Reni, fotonya masih ada jadi suka merenung mengapa dulu gayanya kekituan y hahaha...
BalasHapusduuh baca kisah masa lalu gini bawaannya jd nostalgia juga mbak ;D.. apalagi kalo memang banyak moment2 yang nyenengin nya ;)..
BalasHapusWah lengkap juga ya foto-fotonya untuk ukuran jaman dulu. :D
BalasHapusAku juga pernah jadi korban bullying Mbak. Tapi satu kunci yang membuatku tetap bertahan, ya nggak usah ngereken ataupun minder. Lhadalah di masa sekarang temen-temen yang suka bully aku hidupnya pun nggak jauh lebih baik dari aku. :v
Wah foto-foto zaman dulu masih lengkap ya mbak ^^ senang lihatnya
BalasHapusmasa kecilnya seru bangeeet...suka liat foto-fotonyaaa
BalasHapus