Selama ini masih banyak masyarakat Indonesia
yang belum memahami dengan benar perbedaan konsep seks/jenis kelamin dan
gender. Bahkan penggunaan kata “KODRAT” pun masih sering salah dipahami.
Seperti misalnya: memasak, mencuci baju, menyapu rumah, mengasuh anak itu
adalah kodrat bagi wanita. Dengan pemahaman seperti itu akan semakin
memperdalam jurang pembagian tugas domestik antara suami dan istri. Padahal
tugas-tugas domestik tersebut seharusnya bisa dilakukan secara bersama-sama saling
bahu membahu antara suami dan istri.
Hal yang paling mendasar yang harus dipahami
oleh kita semua adalah perbedaan antara SEKS/JENIS KELAMIN dengan GENDER/JENIS
KONSTRUKSI SOSIAL:
SEKS/JENIS KELAMIN:
1. Jenis
kelamin biologis, diperoleh dari Allah SWT sejak lahir
2. Tidak
dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki
3. Berlaku
dimana saja, kapan saja, di seluruh dunia (universal)
GENDER/KONSTRUKSI SOSIAL
- Jenis kelamin sosial, bentukan masyarakat yang kadang dianggap sebagai kodrat. Padahal pengertian KODRAT adalah sesuatu yang merupakan karunia Ilahi yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Yang termasuk KODRAT PEREMPUAN adalah menstruasi, hamil, menyusui dan melahirkan.
- GENDER bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Artinya antara laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mendapatkannya dan melakukannya).
- Berlaku di tempat dan waktu tertentu
GENDER dapat berwujud pembedaan dalam 4 hal,
yaitu:
- Pembedaan dalam hal PERAN. Contoh: laki-laki bekerja di wilayah produksi (menghasilkan uang) dan perempuan bekerja di wilayah reproduksi (kerja-kerja domestik di rumah dan tidak menghasilkan uang)
- Pembedaan dalam hal WILAYAH KERJA. Contoh: laki-laki bekerja di area publik (luarrumah), perempuan bekerja di wilayah domestik (di dalam rumah/ruang pribadi).
- Pembedaan dalam hal STATUS. Contoh: laki-laki berperan sebagai subyek, aktor utama, pencari nafkah utama, penentu keputusan, pemimpin. Perempuan berperan sebagai objek pelengkap, pencari nafkah tambahan dan dipimpin.
- Pembedaan dalam hal PENSIFATAN. Contoh: laki-laki dilekati dengan sifat maskulinya itu kuat, berani, keras, tegas, dll. Sementara perempuan dilekati dengan sifat feminine seperti halus, sopan lembut, lemah, cengeng, dll.
Sebenarnya pembedaan peran gender seperti
disebutkan di atas TIDAK AKAN MENIMBULKAN MASALAH jika didasarkan pada
KESEPAKATAN BERSAMA TANPA PAKSAAN. Menjadi masalah ketika tidak didasarkan atas
kesepakatan bersama, dipaksakan dan lebih parah lagi bila disertai dengan kekerasan.
Contoh: bila suami istri sudah sepakat bahwa suami yang bekerja mencari nafkah,
sementara istri di rumah menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak,
maka kesepakatan itu akan menghasilkan kerelaan dan keikhlasan serta membuatnya
manbagi kedua belah pihak untuk menjalankan tugas masing-masing.
Akan berbeda kondisinya bila sang suami secara
otoriter memaksakan kehendaknya istri harus melakukan semua pekerjaan domestik,
tidak boleh bekerja di ruang publik padahal istrinya mempunyai kesempatan dan
kemampuan. Bila demikian halnya maka itu sudah masuk dalam ranah KDRT.
Laki-laki yang sering melakukan KDRT ternyata setelah ditelisik dalam konseling
keluarga ternyata dulunya mereka dibesarkan dalam keluarga yang ayahnya pelaku
KDRT juga.
Terkadang masih ada sebagian masyarakat kita
yang belum siap dengan kondisi suami istri berbagi tugas domestik. Misalnya:
ketika suami di rumah membantu istrinya mencuci, menyuapi anak, menyapu rumah
malah justru dinyinyirin sama tetangganya. Bahkan ada yang bilang istrinya
nggak tau diri, masak suami disuruh melakukan ini itu… Nah kan… Kondisi seperti
itu memang tidak bisa disalahkan karena sudah sejak lama di masyarakat kita
“menganut” budaya patriarki.
Kondisi keluarga yang tidak adil gender
biasanya terjadi karena adanya sebuah siklus. Anak perempuan yang berada dalam
keluarga dengan relasi yang tidak adil gender maka nantinya akan cenderung
berada pada kondisi yang sama. Misalnya: anak perempuan dalam keluarga yang
disuruh mengalah dalam berbagai hal nantinya dia akan cenderung bersikap dan
bertindak yang sama ketika ia menjadi seorang istri atau ibu.
Begitu juga anak laki-laki yang hidup dalam
keluarga yang tidak adil gender, misalnya ia selalu diperlakukan “lebih”
daripada saudara perempuannya baik dalam hal perlakuan, pendidikan maupun
relasi keseharian maka nanti ketika dewasa dia akan cenderung melakukan hal
yang sama kepada keluarganya.
Itulah yang dinamakan SIKLUS. Namun siklus itu
kecenderungan dan BUKAN kepastian dalam hidup. Untuk itu, kita harus belajar
untuk memberhentikan siklus itu, misalnya dengan menjadikan diri kita menjadi
contoh bagi anak-anak kita, memperlakukan sama tapi tetap sesuai porsinya
terhadap anak laki-laki dan anak perempuan kita. Artinya kita harus mengubah
relasi dalam keluarga kecil kita sendiri menjadi setara gender. Misalnya:
mencuci piring, menyapu tidaklah harus dilakukan oleh anak perempuan kita.
KELOMPOK YANG RENTAN MENDAPATKAN KEKERASAN
BERBASIS GENDER
Mereka yang rentan mendapatkan kekerasan
berbasis gender antara lain:
1. Masyarakat
miskin
2. Diffable
(terutama yang mengalami defisiensi mental)
3. Masyarakat
di daerah terpencil dan tertinggal
4. Lansia
5. Memiliki
penyakit berat, termasuk HIV/AIDS
6. Tinggal
di
7. Di
pengungsian
8. Komunitas
adat dan agama/kepercayaan minoritas.
Namun, sekarang seiring dengan berkembangnya
teknologi informasi dan pengetahuan masyarakat Indonesia terutama perempuannya
semakin berdaya. Perempuan semakin menyadari bahwa mereka juga mempunyai
kesempatan yang sama dan kemampuan yang tidak bisa diremehkan. Sehingga
meskipun seorang istri tidak bekerja di wilayah publik tapi tetap bisa berdaya
dan berkarya dari rumah. Banyak entrepreneur perempuan yang mengawali karirnya
dari bekerja di dalam rumah.
Namun terkadang juga kita temui kondisi yang kurang
positif, misalnya karena terlalu dominannya istri dalam keluarga sehingga
justru suaminya yang takut sama istrinya, kalau istilah kerennya SSTI
(suami-suami takut istri).
Kita jangan sampai tergelincir dengan
pemahaman para feminis (yang hanya mau menerima kodratnya sebagai perempuan
saja seperti menstruasi, hamil, menyusui, melahirkan). Sementara mereka menolak
tugas-tugas domestik seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga.
Bagaimanapun juga sebaga istri bertanggungjawab terhadap tugas-tugas dalam
rumahtangga seperti yang telah disepakati bersama. Boleh-boleh saja istri
“tidak mengerjakan pekerjaan rumahtangga” ASAL suaminya kaya sehingga bisa
membayar asisten rumah tangga. Meskipun demikian, hal-hal yang menyangkut
pembagian tugas dalam keluarga harus berdasarkan atas kesepakatan bersama
sehingga tidak ada yang merasa tersakiti atau
terdzalimi.
GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. PRINSIP
TAUHID SEBAGAI TEOLOGI PEMBEBASAN
Islam selalu hadir dengan gagasan besar
kemanusiaan. Islam hadir untuk membebaskan
manusia dari penindasan, tirani,
perbudakan dan pelanggaran terhadap HAM.
2. PRINSIP
KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER
Islam sebagai agama rahmatanlil ‘alamin
memiliki prinsip bahwa ukuran kebaikan personal adalah ketakwaan kepada Allah
SWT, tanpa ada pembedaan atas nama apapun, termasuk pada jenis kelamin.
KONSEP KELUARGA RESPONSIF GENDER
Bagaimana agar keluarga kita bisa menjadi
keluarga yang adil gender? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu:
1. Tentukan
standar bahagia bersama pasangan. Tidaklah perlu kita menggunakan standar
bahagia orang lain karena hidup itu sawang sinawang.
2. Perbanyak
dialog diantara anggota keluarga.
3. Sepakati
dengan suami/istri masing-masing tentang peran kita di luar rumah.
4. Tidak
memberikan pembedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan.
5. Kembangkan
sisi feminitas anak laki-laki dalam takaran tertentu dan sisi maskulinitas anak
perempuan dalam takaran tertentu pula. Misalnya: anak perempuan juga perlu
diberi mainan pistol-pistolan dan mobil-mobilan tapi jumlahnya jangan lebih
banyak dari mainan boneka, masak-masakan.
HR. Bukhari tentang aktifitas Rasululloh
Dari Al Aswad berkata: Saya bertanya kepada
Aisyah r.a. “Apa yang dilakukan oleh Nabi SAW di rumahnya?”. Aisyah menjawab:
“Beliau berada dalam tugas keluarganya (istrinya) yakni membantu pekerjaan
istrinya sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat”.
Materi yang saya ulas di atas merupakan
tambahan ilmu yang saya dapatkan dari acara Sosialisasi yang Terkait dengan
Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang
diselenggarakan oleh kerjasama antara P2TP2A Gresik (Pusat Pelayanan Terpadu
Perlindungan Perempuan dan Anak) dengan Badan KBPP (Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Perempuan) Kabupaten Gresik.
Materi disampaikan oleh Ibu Hikmah Bawaqih
(Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU Jawa Timur, Ketua P2TP2A Malang, Host TV9
acara HikmahFatayat).
Nambah knowledge nuhun sharingnya mba :)
BalasHapussama-sama mbak...terima kasih sudah berkunjung
HapusHmmm... banyaknya gesekan soal gender ini memang karena mereka enggak mengerti apa itu gender dan cara menghargainya, ya Kak..
BalasHapusbetul mbak, memang perlu ada edukasi untuk hal yang berkaitan dengan peran perempuan ini
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusBener mbak perbanyak dialog keluarga. Sekarang mah pada pegang hape masing2 :D
BalasHapusdiakui atau tidak, memang begitulah keadaannya sekarang mbak...hiks
Hapus