Siapa sih yang tidak ingin menjadi orangtua yang dicintai,
disayangi dan dirindukan oleh anak-anaknya?
Apakah selama ini kita sudah merasa dirindukan oleh
anak-anak kita? Atau justru anak-anak merasa kurang nyaman ketika orangtuanya
ada di dekatnya? Apakah anak justru merasa senang bila kita ada di kegiatan di
luar rumah sehingga mereka merasa bebas melakukan sesuatu di rumah?
Tentu kita harus cari tahu jawabannya...
Mungkin untuk orangtua yang anaknya masih balita, justru anak-anak
tidak mau jauh dari pelukan orangtua. Tapi ketika anak-anak sudah menginjak
usia remaja apakah mereka masih ingin selalu ada di dekat orangtuanya, atau
justru merasa nyaman bila jauh dari pengawasan orangtua.
Perlu effort yang
tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan bukan?
Untuk itu marilah kita terus dan terus belajar menjadi
orangtua.
Tema itulah yang diangkat dalam TALKSHOW PARENTING NASIONAL
2017 yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah Al Ummah Gresik. Bertempat di
Graha Sarana PT. Petrokimia pada hari Sabtu, 8 April 2017. Acara dihadiri oleh
sebagian besar wali murud dari Sekolah Al Ummah, guru-guru PG/TK serta para
orangtua yang concern terhadap
pengasuhan putra putri mereka.
Talkshow ini menghadirkan Ustadz Bendri Jaisyurrahman seorang
muballigh, Konselor Anak, Keluarga dan Pernikahan, serta pendiri Aliansi Cinta
Keluarga Indonesia.
Well... inilah beberapa rangkuman yang bisa saya tulis dari
acara tersebut, semoga bermanfaat bagi diri saya sendiri dan siapapun yang
berkenan membacanya.
Merupakan hal yang tidak mengherankan jika saat ini sebagian
anak-anak justru lebih betah berlama-lama berada di luar rumah. Mereka lebih
asyik nongkrong di cafe, mall, play station, warnet bahkan di warung kopi. Tak
sedikit dari mereka yang pulang larut malam bahkan ada yang terlibat dalam tawuran.
Atau sebagian anak-anak ada di dalam rumah tapi bersikap
menjadi antisosial, sibuk dengan gadgetnya dan jarang berkomunikasi dengan
anggota keluarga yang lain padahal mereka berada dalam satu rumah.
Pertanyaan
besarnya adalah: DIMANA ORANGTUA MEREKA?
Hal-hal seperti itulah yang seyogyanya membawa kita untuk
mengevaluasi diri apakah selama ini kita justru menjadi orangtua yang “dijauhi”
oleh anak-anak kita sendiri.
Tidak sedikit orangtua yang merasa dirindukan oleh
anak-anaknya, atau merasa ke GR-an sudah menjadi orangtua terbaik bagi
anak-anaknya. Pernahkah sebagai orangtua bertanya kepada anak-anaknya misalnya,
“Nak, menurutmu mama/papa itu orangnya
gimana?”
Apakah anak akan menjawab, “Mama bawel, cerewet... Papa sukanya marah-marah melulu...”
Nah lho kann...
Pernah aku tanyakan hal serupa kepada si sulungku, eh
jawabannya, “Ibu pelit, masak kalau
anaknya minta sesuatu nggak dibelikan” atau “Masak aku disuruh belajar terus, kan pusing... Coba Ibu sendiri yang jadi
aku...”
Nah berbekal jawaban itu kita bisa memberikan perhatian
lebih ke anak serta menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan jawabannya,
tapi bukan untuk membela dirinya yaa...
Untuk si bungsu sering aku tanya, “Dik, kalau ibu marah, adik suka nggak?”
Jawabannya, “Aku nggak
suka Ibu marah, aku nggak mau sama Ibu!!!" atau "Ibu nakal kalo marah"...Dengan ekspresi ketus dan apa
adanya dia menjawab, padahal saat itu aku dalam kondisi tidak sedang marah.
Bisalah dicoba untuk pertanyaan-pertanyaan lain dan mungkin
kita akan tercengang dibuatnya.
Baca juga Kalau Marah Ibu Tidak Masuk Surga Lho
Dalam mendidik dan mengasuh anak sudah menjadi kewajiban
bagi kedua orangtua, baik ayah maupun ibu. Namun seringkali di masyarakat kita
masih saja ada yang beranggapan bahwa ayah bertugas mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sementara ibu bertugas mendidik dan mengasuh anak.
Pandangan tersebut ternyata perlu dikoreksi. Al Qur,an sudah
memberikan panduan bagaimana menjadi orangtua hebat. Kalau berbicara tentang
peran orangtua dalam Al Qur’an dialog yang terjadi antara anak dan orangtua
justru yang paling banyak disebut adalah peran ayah dibanding peran ibu.
Ketika bicara tentang anak, ada 14 dialog antara ayah dan
anak mulai dialog Nabi Ibrahim as – Ismail as, Ya’kub as- Yusuf as, Syaikh
Madyan - anak perempuannya, Daud as – Sulaiman as,Ibrahim as dengan ayahnya,
Ya’kub as dengan anaknya serta dialog Lukman dengan anaknya. Sementara dialog
antara ibu dengan anak hanya ada 2 saja yaitu dialog antara Maryam dengan
janinnya dan dialog antara Ibu Musa dengan anak perempuannya.
MISI ORANGTUA : MENGIKAT HATI ANAK
Ibu lebih banyak berperan sebagai “al wadud/al mawaddah” yaitu kecenderungan anak untuk ingin selalu
menempel karena kasih sayang yang kuat. Inilah ibu yang sedang menjalankan
fungsi pengasuhan yang biasa disebut sebagai fase emosional bonding. Ciri anak yang terikat dengan orangtuanya,
merindukan kehadiran orangtua sehingga mereka akan banyak tergantung dengan
orangtua. Ikatan emosi/batin seperti ini akan sangat berpengaruh bagi anak di
masa depannya ketika ia menjalani masa-masa sulit meskipun orangtua tidak
berada di sisinya. Dan yang harus diingat bahwa orangtua tidak mungkin selamanya akan mendampingi anak-anaknya. Anak juga lebih mandiri, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi serta menggapai cita-citanya. Nah emotional bounding yang kuat inilah yang berperan sebagai pengarah.
Sebaliknya, ketika anak tidak mempunyai emosional bonding yang baik dengan orangtuanya maka dia akan tidak mudah percaya pada orangtuanya dan lebih suka mendengar apa yang dikatakan oleh temannya, meskipun itu tidak baik baginya. Nah, disinilah saat pengaruh buruk dari luar masuk dengan mudah.
Makanya pada fase usia 0 – 2 tahun merupakan fase pengikatan
(fase emosional bonding). Dalam Al Qur’an sangat jelas bahwa Allah
memerintahkan seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan ASI. Bukan hanya ASI
yang diberikan tapi yang tidak kalah pentingnya adalah belaian yang dibutuhkan
oleh sang anak. Tentu tidak hanya ibu saja yang berperan. Sang ayah pun juga
harus turut menjadi aktor utama dalam keterlibatan pengasuhan anak.
Bila ada pengasuh lain babysitter atau ART misalnya, maka
orangtua harus tetap mengupayakan agar orangtua tetap menjadi tokoh utama. Ini
bertujuan agar ikatan yang terjalin bukan dengan babbysitter atau ART tapi
tetap pada orangtuanya.
Dalam fase 0 – 2 tahun ini orangtua harus mengerahkan segala
energinya baik suara, bahasa tubuh dan ekspresi muka agar terekam kuat dalam
memori si anak sehingga akan memunculkan ikatan hati. Pendengaran, penglihatan
dan hati harus dipenuhi haknya. Anak harus sering mendengar suara orangtuanya,
anak harus sering melihat wajah orangtuanya dan anak harus merasakan bahwa dia
mendapatkan kasih sayang penuh dari orangtuanya.
SINDROME "MOMMY IS MY
ENEMY"
Ini merupakan kecenderungan anak yang bermusuhan dengan
ibunya di usia ABG. Mereka cenderung bicara kasar dan tidak sopan pada ibunya.
Ustadz Bendri mencontohkan sebuah kasus gadis X yang berperilaku sangat kasar
pada ibunya, kata-kata kotor selalu diumpatkan pada ibunya. Gadis X pernah
bercerita pada ustadz Bendri (cerita ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan
para working mom) bahwa sejak usia
satu tahun ia minum ASI perah karena ibunya sering ada tugas ke luar negeri.
Ibunya berpesan pada ART di rumah itu agar selalu memberikan ASI (bukan susu formula)
kepada anaknya. Tak lupa ia pun berpesan bila stok ASI hampir habis sang ART
harus lapor ke sang ibu agar sang ibu bisa memerah ASI-nya dan akan dikirimkan.
Sang ibu berprinsip agar anaknya harus mendapatkan ASI full selama dua tahun.
Gadis X bilang bahwa dia memang minum ASI full selama dua
tahun tapi diberikan selalu dari botol. “Emangnya gue anak botolan...” itu
ungkapan yang keluar dari mulutnya dengan penuh rasa kesal.
Dari peristiwa tersebut dapat digarisbawahi bahwa masih ada
para ibu yang salah paham mengenai konsep ASI. Tidak hanya tercukupi ASI ke
mulut anak tapi lebih dari itu anak juga butuh tercukupi belaian orangtua.
Dengan seringnya tak memberikan ASI langsung dari puting dapat menyebabkan anak
sehat fisiknya namun jiwanya kosong.
Bagaimana jika ibu ada kendala dalam pemberian ASI seperti
ibu bekerja, ASI kering (tidak mau keluar), si ibu sedang hamil lagi atau
karena alasan medis sehingga tidak disarankan menyusui maka si anak baduta
(bawah dua tahun) harus tetap sering ditempelkan pada puting sang ibu walau
tiak nenen (menyusu). Hal ini bertujuan agar anak tercukupi belaian atau
sentuhan sang ibu.
BUAH DARI ORANGTUA YANG DIRINDUKAN
Ketika anak-anak sudah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan orangtuanya maka inilah hasilnya:
- Anak berusaha taat meski beda keinginan.
- Anak tetap hormat meski dimarahi.
- Anak tidak menyimpan rahasia kepada orangtuanya.
- Orangtua dijadikan rujukan dalam nilai dan prinsip.
- Anak tidak betah keluyuran di luar.
- Orangtua dijadikan referensi dalam mencari jodoh
Di Indonesia angka perceraian sudah sangat tinggi. 70 persen istri yang menggugat cerai suami. Kenapa? Setelah ditelisik lebih dalam ternyata hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya atau tipisnya emosional bonding antara ayah dengan anak perempuannya. Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya berpengaruh terhadap 2 hal, yaitu :
- Tidak mudah jatuh cinta kepada sembarang lelaki saat ABG.
- Tidak mudah menggugat cerai suami jika sedang berkonflik. Saat berkonflik dengan sang suami dia akan curhat ke ayahnya bukan ke laki-laki lain. inilah pentingnya father bonding.
Tidak ada kata terlambat.
Emosional bonding masih bisa diciptakan.
Caranya dengan "peka membaca" goldent moment. Apa itu GOLDEN MOMENT? yaitu suatu keadaan dimana anak benar-benar memerlukan kehadiran kita sebagai orangtua. ini bisa terjadi tanpa sengaja tapi bisa juga direkayasa.
Contohnya dikala anak sedang sedih dan membutuhkan kita atau pada saat anak menunjukkan prestasinya. hadirlah dengan sepenuh jiwa raga pada saat-saat itu. Jangan hanya hadir secara fisik saja.
Ketika anak sedang sedih, jadilah tempat curhatnya, jangan biarkan orang lain merebut posisi itu. Ketika anak sedang sdih sementara orangtua tidak peka maka hatinya akan semakin rapuh. Dia semakin tidak percaya pada orangtuanya dan akan mencari sosok lain yang bisa mendengarkan dia. Akan semakin berbahaya bila yang dijadikan sosok curahan hatinya adalah sosok yang tidak tepat.
Begitu juga ketika anak menunjukkan prestasinya. Misalnya ketika dia tampil dalam pentas sekolahnya seperti menyanyi, baca puisi, menari atau bahkan hanya sebagai pemeran figuran dalam drama sekolah. Meskipun kesannya remeh dan biasa tapi ini sangat penting bagi kebanggaan dirinya di hadapan orangtuanya. Berikanlah tepuk tangan yang tulus dan penuh rasa bangga pada anak. Jangan sampai tidak hadir pada acara-acara penting bagi anak demi terciptanya emosional bonding.
Ketika emosional bonding sudah terwujud dengan kuat maka sesungguhnya kita telah mendampingi anak-anak kita tercinta meski kita telah tiada.
Waduh, Mbak... tulisan ini "nampar saya banget hahaha
BalasHapusSoalnya Salfa sekarang udah bisa banget mancing emosi
Kalau diajak omong kadang bolak-balik bikin senewen wkwkwkw
Padahal memang di usianya yang masih 2 tahun justru akan begitu ya katanya
Kalau saya sih bilangnya gini, "Kalau Salfa nakal, ga nurut Bunda, Allah nanti ga sayang"
Terima kasih Mbak sudah mengingatkan saya untuk terus belajar jadi orang tua
Betul Mbak Rahmah, anak-anak memang sering menguji ketahanan dan kestabilan emosi orangtua, saya juga kadang terbawa emosi... memang kita harus terus belajar jadi orangtua, maka tak salah bila anak-anak kita sebenarnya adalah "guru' bagi kita
BalasHapusEndingnya pas Athiyah ngelucu gemesin banget ya Mbak.. Tadinya marah malah pengen ngakak.. Haha.. Itu mungkin seni nya jadi orang tua.. Kadang harus sabar, nahan bawel, sabar lagi, kadang emosi, tapi sayang, dst..
BalasHapusMasih belajar juga nih saya Mbak, hehe...
ah Mbak, saya orang yang ga sabaran, gimana ya kalau besok udah nikah dan punya anak :(
BalasHapus